Janji Kelingking
What if I never
knew?
What if I never
found you?
I never had this
feeling in my heart ♥
Mengapa harus
ada waktu dalam ruang? Bolehkah aku hidup dalam ruang tanpa ada waktu yang
membayangiku? Menghembuskan nafas tanpa beban dengan seulas senyuman
keikhlasan. Dunia ini tak akan pernah dapat dimengerti, bila engkau tidak
pernah belajar untuk memahaminya. Meneguk asam pahit manis yang tak pernah
berhenti berputar. Dan saat itu terjadi, biarkanlah semua mengalir dengan
semestinya. Karena percayalah, segala sesuatu itu akan kembali pada tempatnya.
Sudah setengah
jam aku berada di caffe Achapuchino dan selama itu pun aku hanya mengaduk
Mochacinoku yang telah mendingin. Hari ini aku benar-benar tidak tahu harus
melakukan apa, waktu terasa hampa dan berlalu begitu saja.
Caffe
Achapuchino merupakan salah satu tempat favoritku. Aku selalu merasa nyaman
berada disini. Sofa yang empuk di setiap tempat duduk dengan interior bernuansa
earthtone yang sangat lembut. Kualihkan pandanganku menuju kaca. Gerimis.
Bayangan-banyangan
itu pun mulai membayangi pikiran ku kembali. STOP! Bagaimana mungkin aku selalu
memikirkannya? Sedang dia telah membuangku jauh dalam hidupnya. Ayo Acha
belajarlah melupakan dia, masih banyak hal yang perlu kau pikirkan dan lebih
berguna daripada memikirkannya. Pikiran ini benar-benar menggangguku, segera
aku raih tas selempang disamping sofaku dan pergi meninggalkan caffe ini.
Aku
menengadahkan kepalaku keatas dan mencoba menikmati rintikan air hujan yang
mebasahi wajahku. Aku terdiam dan tanpa aku kehendaki air mata ini pun mengalir
bersama rintikan-rintikan hujan. Aku pun berlari kecil untuk berteduh, karena
rintikan hujan itu bertambah besar. Dingin sekali. Aku pun mencoba memeluk
tubuhku sendiri. Ddrrrt! Hp-ku berbunyi. Ku ambil handphone dalam saku
celanaku.
From : Adel
Dimana???
Sent : Adel
Depan caffe, kenapa?
From : Adel
Cepet pulang!
Ada apa dengan
makhluk yang satu ini, tidak biasanya dia menkhawatirkanku. Aku pun segera
mencari taxi dan bergegas pulang.
Sesampainya dirumah,
ternyata Adel telah menungguku di depan gerbang dengan wajah yang tak aku suka.
“Lo gapapa
kan?” tanyanya khawatir. “Gue baik-baik aja ga usah lebay gitu deh” jawabku
acuh dan langsung memasuki rumahku. Adel mengikutiku dari belakang menuju
kamarku. Aku hempaskan tubuhku di kasur, betapa lelahnya hari ini.
“Lo ga bisa
bohongin perasaan lo sendiri”
“Gue udah
biasa di giniin Del”
“Lo ga usah
sok tegar di depan gue deh! Gue kenal lo! Ini bukan lo yang biasanya”
“Setiap
kejadian pasti ada hikmahnya”
“Cha? Lo
berani natep mata gue gak?”
“Hah?” aku
tahu Adel dapat membaca mataku dengan mudah, dengan sedikit ragu aku mencoba
menatap matanya. “Lo masih sayang sama dia” ucapnya dengan tepat. Apa ku bilang
dia dapat dengan mudah melakukannya. “Lo ga bisa bohong, gue tahu. Lo harus belajar jujur sama diri lo sendiri”.
“Gue udah
bukan siapa-siapa dia lagi”
“Rasa sayang
emang hak lo buat milikinnya”
“Salah gue
kenapa mesti ngelakuin hal tolol kayak gitu”
“Cinta itu
emang datang tanpa kita kehendaki”
Aku mulai
merasakan mataku mulai memanas. Sudahlah aku memang lemah, aku tidak pernah
bisa kuat bila sudah berurusan dengan……….masa lalu. “Keluarin semuanya aja Cha,
mumpung gue masih disini. Gue bakal nemenin lo sampe lo tenang. Sekarang gue
ijinin buat nangisin dia, tapi lo juga harus bangun dan belajar buat ngelupain
dia”. Aku pun memeluk Adel. Mungkin aku harus segera bangun dari mimpi yang
panjang ini. Mungkin.
*****
(Flash Back)
Lima tahun yang lalu…..
Tahun ajaran
baru. Kelas baru. Teman baru. Suasanan baru. Senyum yang baru? Mungkin. Semua
murid begitu antusias mendapatkan kelas barunya. Namun tidak denganku. Aku
benci tahun ajaran baru, tahun dimana aku tidak dapat sekelas kembali
dengannya.
Dia. Aku tak
pernah membayangkan untuk menyukai bahkan hingga menyayanginya. Tak pernah
terfikirkan sedikit pun bayangan aku akan menyayangi orang aneh seperti dia.
Pada saat pertama kali bertemu, aku tak pernah menyangka bahwa dia akan menjadi
begitu berarti bagiku.
Semua terjadi
karena perbuatan tololku. HAHA. A little mistake. Dan aku tidak pernah ingin
untuk mengingatnya kembali.
Clak… Kurasakan butiran-butiran air yang
mengenai badanku. Aku menenggakkan kepala dan tersenyum. Gerimis. Aku sangat
menyukai gerimis. Aku melihat orang-orang berlari mencari tempat untuk berteduh.
Namun tidak denganku, aku hanya diam dan tersenyum ketika rintikan air
membasahi bajuku.
“Orang
sinting, orang lain pada neduh lu malah diem disitu” suara itu membuatku
tersadar dari lamunanku. Apakah aku tidak salah dengar? Aku menoleh. Dia yang sedari
tadi aku lamunkan. Masa laluku.
“Malah
bengong, sini cepeet” Dia pun menghampiriku dan mengenggam tanganku. Menarikku
kearah koridor sekolah.
Brrrr. Angin
pun berhembus dengan lembutnya. Dingin sekali. Aku pun memeluk tubuhku sendiri.
“Ngapain si ujan-ujanan kayak tadi?” tanyanya. “Gue suka gerimis”.
“Kayak di
sentron-sinetron aja suka gerimis”
“Bawel”
jawabku singkat dan berjalan menjauhi dia. Aku tak kuat bila terus berlama-lama
dengannya, aku takut tiba-tiba memeluknya. “Mau kemana? Sini bentar”
“Ada apa lagi
sih Vin?”
“Pake jaket
gue tuh, ga usah nolak” Dia melemparkan jaket Manchester Unitednya ke arahku. “Gausah,
kamu aja yang pake”
“Gue cowok lo
cewek, mana keujanan lagi. Udah pake aja bawel”. Keras kepala. Itulah Alvin,
dengan terpaksa aku mengenakan jaket Manchester Unitednya. “Temenin aku disini
ya sampe ujan reda” ucapnya. Hah? Apa aku tidak salah mendengarnya? “Duduk situ
yu Cha”. Aku pun mengekor dibelakang Alvin.
“Kamu dapet
kelas apa Cha?”
“12 IPA 4.
Kamu?”
“IPA 1. Kelas
terakhir kita di smansa”
“Yaa….” Kelas
terakhir kita di smansa dan kita tidak dapat melaluinya bersama, sudahlah.
“Kamu mau
ngelanjutin kemana Cha?”
“Aku pengennya
ke Universitas Indonesia”
“Jurusan?”
“Kedokteran
insyaallah. Kamu?”
“Gatau.
Kayaknya ga akan di Indonesia”
“Hah? Kenapa?”
“Mama aku
nyuruhnya buat ke England. Tapi aku juga ga ngerti”
“Oh…” Kecewa.
Hanya itu yang ada dalam otakku. Tak terasa kini sudah tidak ada kata gue-lo
lagi diantara aku dan Alvin. Keheningan pun kembali menghinggap. Aku dan Alvin
hanya duduk memandang kearah danau di sekolah dan memperhatikan rintikan hujan
yang membasahi pelataran sekolah ini.
“Eh ujannya
reda, ayo pulang”
Aku dan Alvin
pun berjalan menuju gerbang sekolah. Dia berjalan menuju motor satrianya dan
aku berjalan menuju jemputanku. Angkot.
“Mau bareng
ga? Mumpung lagi baik”
“Hah?”
Tidak biasanya
dia seperti ini. Bagaimana aku bisa berhenti menyayanginya jika seperti ini? Aku
tidak mengerti dengan Alvin, terkadang kami seperti orang yang tidak kenal satu
sama lain, jangankan untuk bertanya padaku, menatap mataku saja dia tidak
melakukannya. Tapi terkadang dia memperlakukanku seperti tadi. Ah aku tidak
mengerti jalan pikirannya. Tanpa sadar aku telah berada di atas motor
satrianya. Dia mengantarkanku pulang. Musim semi telah datang padaku.
Pernah. Entah
mengapa aku sangat membenci dengan kata ini. Satu kata yang membuatku gila
karnanya. Mengapa kita hanya menjadi suatu kata ‘pernah’ dan tidak menjadi
‘selamanya’, karena aku tak pernah mengerti hingga saat ini hatiku hanya dapat
menyebut namamu.
Jika rasa ini
memang nyata, maka ajari aku, tetap melaju tapi tak terjebak waktu. Tetap
berpusar tanpa harus terlempar. Tetap mengalir tanpa harus berpikir.
*****
Jam
menunjukkan pukul 14.35. Saat dimana semua murid menunggu nada yang membuat
mereka terlepas dari semua perangkat sekolah. “Teeeeet…. Teeeeet……”. Yes. Satu
kata yang tanpa sadar keluar dari mulutku.
“Baiklah
anak-anak jangan lupa mempelajari
hukum-hukum redoks lainnya, karena materi ini sudah selesai sehingga
minggu depan kita akan melaksanakan ulangan harian. Selamat sore anak-anak….”
Ibu Meli pun
keluar dari kelas dengan meninggalkan segudang ke-khawatiran dalam pikiranku.
Oh tuhan, aku sama sekali tidak mengerti bab itu.
Dengan malas
aku memakai sweater merahku dan menggendong tas hitamku. “Cha….. anterin gue ke
gramed yuuu” pinta Adel dengan memelas.
“Mau ngapain?”
“Gue mau beli
majalah Greyson. Ayoodooong”
“Iyaa deh”
“YAAAAY” pekik
Adel dengan sangat kencang. Dengan kesal aku mengusap-ngusap telingaku yang
mengiang sedari tadi.
Kami pun
berjalan menuruni tangga. Adel tak henti-hentinya berbicara tentang Greyson
yang menurutnya memiliki senyum termanis di dunia. Sayang sekali Adel tidak
pernah menyadari bahwa Alvin memiliki senyum paling manis yang pernah ada.
Andaikan aku dapat memainkan waktu dengan mudah, aku ingin membingkai senyumnya
dan menunjukkannya kepada Adel dan dunia.
“Eh Ray lo
tadi dicariin Pak Rio di ruang BK” sela Adel tiba-tiba. Terlihat disana seorang
lelaki dengan wajah sengak dan berpostur kurus dan tinggi sedang berdiri di
bawah pohon rindang. “Haa? Ngapain? Gue anak baik gini juga” ucap Ray dengan
nada selengean. “Lu kan IRnya RayReady SHS Ray, ga aneh lu masuk BK hahaha”
ucap Adel yang dibarengi tawa kecilku.
Tawaku pun
berhenti ketika seseorang yang memiliki bola mata yang besar menepuk pundak
Ray. “Raay lu di cariin Pak Rio nooh” ucapnya. Alvin. “Tuuh kan” ucap Adel
dengan puas. “Matilah lu Raay. Gue kesana ya dah” dengan cepat Ray berlari menuju
ruang BK yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.
“Lu ga ke gor
Vin?” Tanya Adel kepada Alvin. Oh tuhan mengapa Alvin terlihat begitu mempesona
dengan jaket hitam yang melekat pada tumbuhnya, dan rambut jambul yang
membingkai wajah manisnya. “Ini gue mau kesana, tapi gue pulang dulu”.
“Eh lu kalo
ketemu Pak Edwin bilangin ya, suratnya udah gue kirimin semua tinggal tunggu
tanggal main”
“Gampang asal
ada ongkos kirimnya haha” Kacaaaang… Kacaaang… Rasanya aku seperti patung
Liberty di antara mereka. Sedari tadi aku tidak pernah berani menatap Alvin,
aku hanya melihat kea rah bawah dan memainkan batu dengan sepatu converse warna
black-purple. Malang. “Mataluuu” ucap Adel garang.”Haha Gue duluan ya, bye Adel” Alvin pun pergi
menjauh dari tempatku berdiri. ‘bye adel’ adel doang? Oh sudahlah, bukankah aku
terbiasa di perlakukannya seperti ini.
“Heran gue.
Alvin ngomongnya sama gue tapi matanya ngarah ke elu ca”
“Hah? Maksud
lo Del?”
“Dari tadi dia
ngelirik lu cha, ga ngerasa emang?”
“Nggaaaaaaak.
Ayoo jadi ga ke gramed sekarang? Gue mau cepet pulang ni”
“Iyee jadiii”
Benarkah yang
di katakana Adel tadi? Rasanya tidak mungkin. Entahlah. Aku tidak mengerti.
*****
Hari demi hari
berlalu. Rasanya kini Alvin benar-benar menjauh dariku. Tidak pernah ada komunikasi
lagi yang terjalin di antara kita. Dan itu benar-benar membuatku bingung.
Bisakah kau bayangkan? Orang yang dulu selalu ada untukmu kini berubah menjadi
seperti orang yang tak pernah kenal dengamu? Sedangkan hatimu hanya bisa
melihat dia. Dia yang kini bukan dia yang dulu.
Sudah beberapa
kali aku mencoba untuk menyapanya, namun selalu gagal. Hingga pada akhirnya apa
yang ingin aku lakukan kepada Alvin seringkali aku lampiaskan kepada orang
lain. Dan dalam pikiranku, aku membayangkan dia adalah Alvin. Jahat memang
namun hanya itu cara untuk dapat menggantikan rinduku yang amat besar pada
Alvin.
Dan hari ini
aku memberanikan diri memberi sebotol minuman kepada Alvin di Gor. Dengan
pakaian seragam lengkap, sepatu converse warna black-purple dan rambut yang aku
ikat dengan pita berwarna ungu, dan sejuta rindu yang ku bawa.Dengan memegang
satu botol Pocari Sweat aku berjalan menghampiri Alvin yang sedang beristirahat
di bangku panjang.
Jantungku mulai
terasa berdegup kencang ketika aku semakin dekat dengan Alvin. Selangkah lagi
menuju Alvin dan….”Eh Cha minuman buat gue ya?” ucap lelaki yang baru saja
keluar dari lapang badminton, Ray. “Haah? Eeeng… nggaa…yaa buat eloo” pasrah.
“Makasiiih
Acha Similikiti” ucap Ray sambil mengacak-ngacak poniku. “Heem sama-sama” . Oh
tuhan mungkin ini belum waktunya untuk bersama Alvin. Aku pun duduk di kursi panjang itu, dan
bersebalahan dengan Alvin. Maksudku dengan Ray sebagai tiang penghalang.
“Lu nggak maen
cha?” Tanya Ray.
“Mau maen gue
cuma gabawa baju olahraga”
“Gapapa kali
Cha, pake itu aja. Ayo gue temenin lo maen” Ray pun menarik lenganku menuju
lapangan dan memberikan satu raket miliknya. Rasanya lelah. Tujuanku datang
ketempat ini untuk bersama Alvin bukan Ray, ya.. seperti biasa aku membayangkan
Ray yang sedang bermain badminton bersamaku adalah Alvin. Aku tertawa seperti
bahagia saat bermain bersama Ray, dia mengajarkan bagaimana ‘SMASH’ da
membenarkan gaya pegang raketku yang benar-benar salah. Namun sejauh itu aku
hanya memperhatikan Alvin, nama dia yang sedari tadi menggebu-gebu dalam
otakku.
Sudahlah
mungkin kita memang tidak di takdirkan untuk bersama. Aku hanya bisa
memandangnya dari kejauhan, merekam setiap gerak-geriknya dalam memori. Rasanya
masa lalu saat aku bersamanya hanyalah mimpi indah dalam hidupku, dan seperti
tidak pernah benar-benar terjadi.
Hari berganti
hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Ujian Nasional sudah
semakin mendekat. Kini aku mencoba untuk tidak peduli terhadap Alvin. Dan mulai
menyibukkan diriku dengan belajar, dan seperti mimpiku yang ingin menjadi salah
satu mahasiswi di Universitas Indonesia. Ya aku tahu, masuk UI itu memang tidak
mudah, aku harus mengalahkan beribu-ribu orang untuk mendapatkan satu kursi di
universitas tersebut. Meski bayangan Alvin belum benar-benar hilang, aku harus
bisa menggantikannya dengan bayangan sebuah almamater UI nanti.
Hari itu pun
datang. Aku telah berusaha semampuku, dan bagaimana pun hasilnya mungki itu
adalah yang terbaik untukku. 4 hari kami semua bertempur untuk mendapatkan
sebuah kata ‘LULUS’. Ada yang belajar dengan mati-matian, ada pula yang sibuk
mencari kunci jawaban kesana kemari, dan ada pula yang hanya diam dan pasrah
dengan segala yang terjadi.
Rasanya berat
sekali untuk menempuh 4hari itu, namun kini aku telah melewatinya. Aku telah
melewati jurang dalam kehidupan. Kemana tujuanku nanti? Entahlah.
Beberapa hari
kemudian setelah dilaksanakannya UN, aku di panggil oleh PA ku. Aku bingung
karena aku merasa tidak melakukan apapun. Namun ternyata guru PA ku meberitaku
bahwa aku lulus seleksi PMDK di Universitas Indonesia. Seperti sebuah tangan
malaikat yang membawaku terbang ke langit. Aku tidak dapat mempercayainya.
Mimpi yang selama ini hanya dapat aku dambakan akhirnya dapat terwujud. Aku
memberitahu orangtuaku, dan tentunya Adel. Mereka senang mendengarnya.
Kini aku hanya
tinggal menunggu hasil kelulusan, dengan tenang. Namun tidak dengan hatiku.
Meninggalkan SMA sama saja dengan meninggalkan Alvin. Aku ingin sekali menarik
tangannya dan membiarkan kami berbicara hanya berdua saja. Tidak. Aku tidak
mungkin melakukan itu.
*****
“Ka bangun ka,
itu ada yang nyariin orang diluar” ucap mamaku lembut.
“Tengah malem
gini? Masa aja maa, ngelindur kali mama”
“Beneraan ayoo
cepet kasian orang diluarnya nunggu lama kak” seru mama sambil membangunkan
tubuhku dengan paksa. Dengan malas aku berjalan menuju pintu depan rumahku.
Siapa orang yang tengah malam begini bertamu? Apakah dia tidak mempunyai jam?
Saat aku
membukakan pintu rumahku………………..
“SURPRISEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!!!
HAPPY BIRTHDAY ACHAAAA… HAPPPY BIRTHDAY ACHAAAA…” seru semua orang yang berada
di depan rumah. Mulutku menganga tak percaya. Oh tuhan aku sampai lupa dengan
hari ulang tahunku sendiri. Mereka
teman-temanku di sepuluh tiga dahulu sudah berada di depan rumahku dengan membawa
kue ulang tahun dan sebuah kado besar. Dan ada Alvin disana. Dengan senyum
lembutnya. Oh tidak wajahku benar-benar kusut dan aku hanya mengenakan piyama
berwarna pink soft ini.
Aku meniup
lilin dan semua bertepuk tangan. Mereka adalah teman-teman terbaikku. “Yaampuun
kalian makasih banyak banyak bangeeeeeeeeeet” ucapku dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Sama-sama Cha.
Niih bocah ini nih yang punya ide bikin surprise buat kamu” ucap Ray sambil
menunjuk-nunjuk Adel.
Anak itu.
Rasanya aku adalah orang yang paling beruntung memiliki sahabat seperti Adel
yang selalu ada untukku. Aku pun berlari untuk memeluknya.
“Eh gue mau
juga dong di peluk” ucap Ray dengan jahilnya. “Apasih lo hahaha” ucap Adel yang
di barengi tawa kami.
“Buka dong
kadonya cha!” seru Sila. Aku pun membuka kado yang di berikan sepuluh tiga
untukku. Sebuah boneka Elmo dengan ukuran yang sangat besar berada dalam
bungkus kado tersebut. AAAAA! Aku pumemeluk teman-temanku. “Makasih yaa..”.
Tidak dapat aku gambarkan kebahagiaanku sekarang.
“Kalian abis
ini mau kemana? Udah malem nginep di
rumah tante aja” Tanya mamaku tiba-tiba. “Ah gapapa tan, takut ngerepotin
hehe” ujar Ray. “Yaudah lu aja yang ga
nginep Ray, kita si pada mau wkwkwk” ucap Adel di barengi tawa anak-anak.
Akhirnya
mereka pun menginap dirumahku. Perempuan tidur di kamarku yang berada di lantai
2 sedangkan laki-laki tidur di kamar tamu di dekat kamarku. Aku melirik kearah
sekitarku. Teman-temanku sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Melihat
wajah mereka yang lugu ketika sedang tidur membuatku tertawa kecil. Tak kan
pernah aku lupakan malam ini. Bersama kalian. Sepuluh tiga. Dan Alvin.
Terimakasih ya Allah.
Jam 05.30
pagi. Setelah kami melaksanakan shalat shubuh, teman-temanku langsung tertidur
kembali karena lelah. Tidak denganku. Rasanya suasana di pagi ini terlalu indah
untuk aku tinggalkan. Setelah merapihkan rambut, aku pun berjalan pelan keluar
kamar menuju balkon rumahku.
Di dalam
rumahku, tempat ini merupakan salah satu tempat favoritku. Pagar untuk
menghalangi teras ini ditutupi dengan berbagai macam tumbuhan yang merambat.
Banyak sekali tanaman yang menghiasi tempat ini juga satu buah sofa berwarna
hitam yang bertengger di tempat ini.
Aku
menghirupkan nafas. Heeeeem. Segar sekali udara pagi ini. Ku arahkan
pandanganku menuju ke bawah, melihat pemandangan yang ada di dalamnya. Tiba-tiba
aku mendengar derap langkah yang menuju tempat ini. Aku membalikkan tubuhku
untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin?”
tanyaku dengan nada tak percaya.
“Kenapa ga
tidur lagi cha?”
“Suasana pagi
ini terlalu indah buat aku tinggalin, kamu sendiri kenapa ga tidur?”
“Males tidur
lagi”
“Oh..”
Dan itu
merupakan percakapan pertama kami setelah sekian bulan kami tidak berbicara
sama sekali. Dan sekarang aku dan Alvin berdiri bersebelahan di tempat ini.
Hanya satu meter jarak antara kami. Keheningan pun kembali menghinggap. Aku dan
Alvin sama-sama diam. Hanya suara burung yang bercuit-cuit ria yang terdengar.
Aku tersenyum. Hanya berdiri di sampingnya, sudah cukup bagiku.
“Aku kedalem
cha” ujar Alvin. “Heem yaa…” ucapku dengan nada kecewa. Rasanya sejak tadi aku
ingin segera menghentikan waktu, membiarkan aku terus bersama Alvin. Alvin pun
berjalan menjauh dari tempat ini.
Setidaknya tadi kami berbicara. Aku pun
tersenyum kecut. Namun rasanya ada yang aneh. Aku tak mendengar suara derap
langkah Alvin lagi. Mungkinkah dia sudah benar-benar pergi dari tempat ini?
Ketika aku berniat untuk memalingkan wajahku kebelakang, kudengar suara lari
kecil yang menghampiriku dan sepasang lengan yang tiba-tiba melingkar di
tubuhku.
Siapa yang
memelukku? Aku menoleh kebelakang. Apa aku tidak salah lihat? Alvin?
“Alvin?
Apa-apaan sih?” ucapku risih. Apa yang dia inginkan? Tiba-tiba memelukku dari
belakang begitu saja.
“Bentar aja
cha… biarin aku buat meluk kamu….” Ucapnya sambil memelukku dengan erat. Ada
apa dengan dia? Aku pun pasrah dan membiarkan Alvin memeluk tubuhku. Apakah dia
dapat mendengar? Jantungku yang berdebar seperti sebuah drum yang sedang
memainkan music hardcord?
“Udah lama aku
mau meluk kamu kayak gini, tapi aku selalu tahan….”
“Kamu kenapa
sih Vin?” aku benar-benar tidak mengerti dengan anak ini. Alvin pun
melonggarkan pelukannya dan membalikkan tubuhku sehingga berhadapan dengannya.
Oh tuhan jarakku dengannya hanya sekitar satu jengkal.
“Cha….. besok
aku jadi pergi England”
“Kamu gak
bercanda kan?”
“Yaa…. Aku
ngambil jurusan arsitek disana…. Dan kayaknya aku ga bakalan pulang ke
Indonesia selama 4 tahun. Aku harus fokus sama apa yang udah mama aku pilihin
buat aku”
“Aku ga ngerti
sama kamu Vin, jadi maksud kamu tadi meluk aku itu apa?”
“Cha… kamu mau
ga nunggu aku? Jaga hati Acha cuma buat Alvin?”
“Haah?” ini
semua rasanya hanya mimpi semata. Aku berusaha untuk memejamkan mataku dan
terbangun dari mimpi ini. Tidak. Ini nyata Acha. Alvin pun memberikan jari
kelingkingnya ke arahku. “Janji..” ucapku dengan pelan. Alvin membalasnya
dengan senyum. Senyum yang sejak dulu hanya bisa aku lihat dari kejauhan, tapi
kini aku melihatnya di depan mataku dan dia meberikan senyum itu untukku. Alvin
menarikku ke dalam dekapannya dan memelukku kembali. “Aku sayang kamu”
bisiknya.
Dan kalimat
tadi bagai tangan malaikat yang mengangkatku terbang dari bumi untuk dibawa ke
surga. Sebuah kalimat yang terucap kembali di bibirnya setelah 2 tahun yang
lalu. Aku pun tersenyum di dalam pelukkan Alvin. Dia yang selama ini hanya dapat
aku lihat dari kejauhan. Dia yang selama ini ada dalam setiap lamunanku. Aku
menyayangimu juga.
Alvin pun
melepas pelukkannya dan mengecup dahiku dengan lembut. Aku tidak dapat berkata
apa-apa lagi. Alvin. Cinta pertamaku. Orang yang pertama mengenalkanku akan
cinta. Orang yang kusebut memiliki senyum termanis di dunia ini. Dan kini aku
menggenggam tangannya. Bersamanya.
Keesokkan
harinya Alvin benar-benar berangkat menuju England. Teman-temanku pun terkejut
ketika mendengarnya. Alvin tidak pernah membicarakan ini kepada mereka,
termasuk sahabat dekatnya Ray. Sungguh aku tak dapat menggambarkan perasaanku
saat itu. Baru saja aku bersamanya, kini ia telah pergi meninggalkanku. Aku
akan menunggumu. Entah kapan aku dapat terbangun dari mimpiku. Entah.
(FLASHBACK END)
*****
Seberkas sinar
matahari membuatku terbangun dari tidur panjangku. Rasanya berat sekali
kepalaku ini. Aku pun berjalan menuju kamar mandi dan mencuci mukaku. Ketika
aku melihat bayanganku di dalam kaca, betapa kagetnya aku melihat bayanganku
sendiri. Mataku benar-benar bengkak. Bentuknya hampir menyerupai bola tenis.
Entah berapa lama aku menangis hingga menjadi seperti ini.
Mungkin aku
adalah wanita yang paling bodoh di dunia ini. Menjaga hatiku hanya untuk cinta
pertamaku. Menolak setiap cinta yang datang padaku, demi janji kelingking yang
terjadi 4 tahun yang lalu. Dengan sabar aku menunggunya. Menahan diriku untuk
mengkhianati janji kelingking. Menfokuskan segala pikiranku pada impianku untuk
menjadi seorang dokter. Kini memang aku telah lulus dari Universitas Indonesia
dan menjadi seorang dokter di sebuah Rumah Sakit ternama.
Namun….
Ternyata kesuksesan dalam karirku tidak sebanding dengan kehidupan cintaku.
Alvin. Orang yang selalu ada dalam hatiku. Orang yang aku tunggu selama 4 tahun
kebelakang ini. Ternyata dia telah membuangku jauh dalam hidupnya.
Aku
mendapatkan kabar bahwa dia telah bertunangan dengan seorang gadis pilihan
ibunya. Clarissa Pearce. Seorang gadis yang kini telah menjadi calon istri
Alvin Jonathan. Lalu? Apa yang kulakukan selama ini? Menunggu lelaki yang telah
bertunangan. Jahat. Alvin benar-benar jahat. Rasanya aku ingin menendangnya
dari dunia ini. Aku memang bodoh. Mempecayai perkataan Alvin begitu saja.
Bayangkan saja
oleh kalian? 4 tahun aku menunggunya dengan sabar. Dan kabar pertama yang aku
dapatkan adalah tentang pertunangannya dengan Clarissa. Kau tahu rasanya?
Sakit. Disetiap hari aku mencoba menepis rasa sepiku dengan mengingat janji
kelingking itu. Dan apa yang aku dapatkan setelah menunggunya selama 4 tahun?
Sudahlah. Nasi telah menjadi bubur. Dunia tidak berhenti sampai disitu saja.
Aku pun
menutup kupingku dari segala hal yang berhubungan dengan Alvin. Adel pun tidak
pernah berani menyebut nama itu kembali. Aku mencoba mematikan segala hal
tentangnya. Namun tidak dengan persaanku, bodohnya aku masih saja menyimpan
namanya di dalam hatiku.
Hari berganti
hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Entah sudah berapa lama aku
tidak pernah untuk tersenyum kembali. Sekalipun aku tersenyum, itu adalah
senyuman palsu dan tidak tulus dari hatiku. Aku mencoba mengalihkan pikiranku
dengan bekerja lembur di Rumah Sakit tempat aku bekerja. Adel selalu datang
untuk menjemputku, mengajakku untuk pergi makan, dan menghiburku. Karena Adel
tahu ketika aku bekerja tidak ada satu suap makanan pun yang masuk ke dalam
muluttku. Setidaknya aku masih memiliki Adel. Sahabat yang tidak pernah lelah
untuk menemaniku. Entah sampai kapan aku terus terbelenggu dengan masa lalu. Aku harus tersadar karena kini semua yang aku
genggam hanyalah satu kata: pernah.
*****
“Chaa…. Ke
caffe Achapuchino yuuu” seru Adel di tengah siang bolong. “Ngapain?” ucapku
masih sibuk dengan berkas-berkas di atas meja belajarku. “Gue pengen makan ice
cream, yah? Temenin yah?” bujuknya dengan senyum seperti anak kecil. “Iyaa gue
ganti baju dulu ya…” ucapku pasrah. “YAAAAAY!” jeritnya. Adel. Tidak pernah
berubah sejak SMA, walaupun kini dia telah menjadi seorang designer ternama
namun tetap kelakuan anak kecilnya masih saja ada.
Aku pun segera
mengganti bajuku dengan dress bermotif floral berwarna merah dan wedges dengan
warna senada juga rambut panjangku yang aku gerai. Aku sudah siap untuk
berangkat. Aku dan Adel pergi menuju caffe Achapuchino dengan mobil audy R8
milik Adel.
Sesampainya di
caffe Achapuchino betapa terkejutnya aku karena di dalam caffe semua
teman-teman SMA ku berada disana termasuk sepuluh tiga. Mereka seperti hendak
‘nonton bareng’.”Eh Acha udah lama kita ga ketemu” ucap Sila yang sedang duduk
dengan teman-teman sepuluh tiga yang lain. Aku membalasnya dengan senyum. “Del… ada apa ini?” Tanyaku dengan curiga. “Heem..
ayo duduk dulu sini cha, lo mau pesen apa? Ohya mochachino sama ice cream oreo
vanilla kan?” jawab Adel tak menghiraukan pertanyaanku.
Bola mataku
berputar mengelilingi seluruh ruangan di caffe ini. Tidak kutemukan sosok
lelaki berpostur tinggi dengan bola mata yang besar itu, syukurlah. Aku pun
berbincang-bincang dengan teman SMAku, sampai akhirnya layar berukuran 50inc yang
biasa di gunakan untuk ‘nonton bareng’ itu pun menyala. Semuanya terdiam dan
fokus pada layar tersebut.
Aku kira
mereka hendak menonton acara bola bersama. Ternyata bukan. Sebuah acara Talk
Show dengan pembawa acara Eza Gionino yang sedang mereka lihat. “Selamat siang
Indonesia…. Berjumpa kembali dengan saya Eza Gionino dalam acara Putih
Abu-abu…. Siang ini saya memiliki bintang tamu yang sangat special. Seorang
arsitek ternama dari Negara ratu Elisabet akan berbincang-bincang bersama kami
selama 30menit kedepan. Mari kita panggilkan Alvin Jonathan…”. Deg. Pantas saja mereka semua berada
disini ternyata mereka hendak melihat Alvin. Aku melirik Adel dengan tatapan
tajam, namun dia hanya tersenyum kecut. Rasanya aku ingin pergi saja dari
tempat ini.
“Alviiin….
Ya… Dengar-dengar Pangeran William dan
Kate Midleton yang baru saja menikah meminta anda sebagai arsitek untuk
membangun rumah mereka?”
“Ya betul.. “
“Wah hebat
sekali…. Sampai pangeran dari Inggris pun mempercayai anda sebagai arsitek
untuk rumah mereka…. Bagaimana perasaan anda saat mengetahuinya?”
“Senang
sekaligus bangga.. tidak pernah menyangka karya saya akan di hargai sampai
seperti ini”
“Apakah
inspirasi anda saat sedang membuat design rumah?”
“Inspirasi
saya ketika sedang mendesign rumah adalah seseorang yang menempati hati saya”
“Wah..
benarkah itu?”
“Yaa..”
“Menyangkut
masalah pribadi, dengar-dengar anda membatalkan pertunangan anda dengan
Clarissa Pearce?”
Hah? Apa yang
dia bilang? Mebatalkan pertunangan? Apakah aku tidak salah mendengar? Mengapa
tidak ada yang meberitahuku? Aku baru ingat. Tidak satupun orang yang kuijinkan
untuk berbicara tentang Alvin.
“Heem ya
benar”
“Mengapa anda
membatalkan pertunangan kalian?”
“Heeem
sejujurnya pertunangan itu bukanlah keinginan saya, melainkan orangtua
saya. Sedangkan mereka tidak tahu bahwa saya telah terlanjur jatuh cinta
dengan wanita yang menempati hati saya”
“Apakah dia
adalah orang yang menginspirasi anda saat mendesign rumah?”
“Yaa…”
“Wah beruntung
sekali wanita itu…. Bolehkah kami tahu siapa wanita itu?”
Alvin pun
tertawa kecil. “Dia adalah gadis yang sangat manis. Saya telah menyukainya saat
saya pertama kali masuk SMA”
“Ternyata dia
adalah cinta putih abu-abumu?”
“Ya betul”
“Bolehkah kami
tahu namanya?”
“Nama gadis
itu…..Larissa Safanah Arif”
Deg. Seperti
petir yang menyambarku di siang bolong. Semua orang di dalam caffe ini beralih
memandangku lalu mereka bertepuk tangan dan bersorak. Aku menutup mulutku, tak
percaya dengan semua ini. Hingga air mata itu pun jatuh dengan manisnya di
pipiku. Kau menepati janji kelingking itu.
*****
Jam 09.00 pagi
Alvin datang ke rumahku. Akhirnya kami pun berbicara kembali setelah 4 tahun
perpisahan kami. Aku dan Alvin berada disini, di tempat dimana janji kelingking
itu terjadi.
“Chaa… kamu
udah denger di acara talkshow kemarin kan?” ucap Alvin dengan suara manjanya.
“Heeem”
“Chaa.. jangan
marah dong…. Maaf soal kejadian waktu itu”. Aku masih terdiam, lucu juga
melihatnya memelas seperti hihi. “Acha… maafin Alvin yah?” ucap Alvin sambil
mengarahkan wajahku agar menghadap kepadanya. “Apaan si ah..” ucapku dengan
tertawa kecil.
“Iiiih Acha
lucu kalo lagi ngambek” ujarnya sambil mencubit kedua pipiku.
“Alviiiiiin
sakiiiiiit” ucapku sambil berusaha melepaskan cubitan Alvin. Alvin pun berbalik
mengelitikku. Tawapun memecah kesunyian yang sempat terjadi.
“Ibu dokter ga
pernah punya pacar kan selama aku di England?”
“Nggaak…..aku
kering tau nungguin kamu 4 tahun”
“Haha segitu
pengennya ya kamu jadi pacar aku?”
“Apasih
kamuu….” Ucapku sambil mencubit badan Alvin gemas.
“Jangan marah
Acha cantik”
“Tau ah”
ucapku sambil membalikkan badan.
“Jangan marah
dong…. Liat ke bawah deh cha”
“Apaan sih…”
“Ayo liat
kebawah…”
Alvin pun
menarik tubuhku agar aku menghadap ke arah pagar pembatas di balkon ini. Oh
tuhan, mengapa aku tidak sadar? Sudah banyak orang di bawah sana dengan membawa
bunga mawar dan balon merah yang di bentuk menjadi huruf I LOVE YOU. Aku
menutup mulutku tak percaya.
“Acha… mau ga
jadi orang yang selalu ada pas Alvin buka mata di pagi hari?”
Aku menatap Alvin yang sedang
tersenyum ke arahku. “Acha mau” ucapku sambil memeluk Alvin. Aku pun melepaskan
pelukkanku. Alvin tersenyum kemudian dia menarik tanganku ke bawah dan menemui
orang-orang yang sedari tadi menunggu kami.
Alvin dialah
belahan jiwaku. Seseorang yang ditakdirkan untuk bersamaku. Walaupun kisah
cinta kami tak semanis seperti kisah lainnya, namun apa ku bilang ‘Sesuatu yang
jika memang milik kita akan kembali kepada kita’. Ternyata Alvin tidak pernah
melupakan janji kelingking kita. Janji kelingking yang terjadi 4 tahun lalu,
dan kini berakhir dengan bahagia. Terimakasih tuhan telah melahirkan Alvin
kedunia ini. Anugerah terindah yang pernah kumiliki.
THE END