RSS

History of Elmo



The sesame Street adalah sebuah acara televisi yang menhadirkan berbagai macam muppets. Muppets dalam The sesame Street yaitu Bert, Big Bird, Cookie Monster, Conat Van Count, Elmo, Ernie, Ghover, Oscar, Rosita, Telly Monster, dan Zoe. Namun yang akan Jelita bahas kali ini adalah mengenai Elmo.

Elmo adalah boneka di acara televisi anak-anak Sesame Street. Elmo adalah boneka raksasa berbulu merah. Pada saat ini elmo menjadi Muppets yang paling sering di mainkan pada segmen Sesame Street, Elmo's world yang bertujuan untuk balita. Sesame Street dimainkan sama seperti pewayangan, terdapat dalang yang memainkan semua muppets tersebut. Dalang dari Sesame Street adalah Kevin Claus.

Elmo digambarkan sebagai tahun dan tiga setengah tua (ga ngerti ini maksudnya apa tapi darisananya ada-___-). Kevin Claus biasa memainkan Elmo sebagai orang ketiga. Sepeti saat elmo memiliki pertanyaan, ia mengatakannya dengan "Elmo memiliki pertanyaan" bukan "Saya memiliki pertanyaan". Staf dari Sesame Street, yakni sang penulis yang bernama Nancy Sans pernah menggabarkan asal elmo "Tedapat boneka merah tambahan yang berbaring, lalu diciptakan kepribadian, tapi tidak ada yang tampak terwujud". Boneka tersebut dimainkan oleh Carrol pada awal tahun 1970, Brian Muehl 1979-1981. Sans melanjutkan bahwa "suatu hari (pada 1984), Kevin Clas, dalang berbakat, karakter pada Elmo akan berkembang dan di hari ke depan kita semua akan menulis kinerja Elmo Kevin.Mengilhami para penulis untuk mengembangkan karakter Elmo".

Elmo pada tahun 2009 menjadi tamu reguler di The Rosie O'Donnell Show, Elmo mulai menjalani rangkaian talk-show. Dia telah muncul di Martha Stewart Living and Martha, The Tony Danza Show, Rove Live, dan The View. Elmo dan seorang ahli perkembangan memberikan tips menjaga lingkungabn pada 18 Juni 2005 episode Teen Kids News. Ia juga tampil di Emeril Live, membantu Emeril membuat (non-alkohol) eggnog. Selama Libur khusus ditampilkan pada Desember, 2008. Kevin Clash dan Aaron Neville juga tamu di acara ini. Pada episode Oprah khusus yang disebut "The Faces behind the name of Famous," muncul Kevin Clash dan Elmo pada saat yang sama.

Karakter Elmo sering digunakan untuk berinteraksi dengan anak-anak dengan pesan-pesan penting, seperti keselamatan kebakaran.Elmo adalah bintang panjang 1999 penuh, bahkan di Grouchland Elmo dijadikan sebuah film layar lebar. Dia juga membintangi film Elmo Saves Natal. Elmo juga muncul dalam episode musim kelima dari The West Wing bersama dengan teman-temannya Zoe dan Big Bird. Dalam episode itu, Elmo menerima pemeriksaan medis dari Abbey Bartlet, First Lady (yang membuat penampilan tamu di Sesame Street). Elmo adalah satu-satunya non-manusia atau boneka yang pernah bersaksi di hadapan Kongres AS. Atas permintaan dan dengan bantuan Rep Duke Cunningham, ia bersaksi di depan Gedung Alokasi Sub-komite Ketenagakerjaan, Kesehatan dan Pelayanan Manusia dan Pendidikan pada bulan April 2002, mendesak dukungan untuk dana peningkatan pendidikan musik. Emeril dan Elmo's Start Healthy adalah khusus menampilkan Elmo dan Emeril Lagasse yang ditayangkan pada tanggal 4 November 2005 jam 20:00 sebagai bagian dari kedua tahunan Food Network's "Masak Dengan Anak Anda Week". Khusus ini diproduksi dalam hubungannya dengan Kebiasaan Sehat Sesame Workshop untuk program Life.

Janji Kelingking♥ (ShortStory)


Janji Kelingking
What if I never knew?
What if I never found you?
I never had this feeling in my heart
Mengapa harus ada waktu dalam ruang? Bolehkah aku hidup dalam ruang tanpa ada waktu yang membayangiku? Menghembuskan nafas tanpa beban dengan seulas senyuman keikhlasan. Dunia ini tak akan pernah dapat dimengerti, bila engkau tidak pernah belajar untuk memahaminya. Meneguk asam pahit manis yang tak pernah berhenti berputar. Dan saat itu terjadi, biarkanlah semua mengalir dengan semestinya. Karena percayalah, segala sesuatu itu akan kembali pada tempatnya.
Sudah setengah jam aku berada di caffe Achapuchino dan selama itu pun aku hanya mengaduk Mochacinoku yang telah mendingin. Hari ini aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, waktu terasa hampa dan berlalu begitu saja.
Caffe Achapuchino merupakan salah satu tempat favoritku. Aku selalu merasa nyaman berada disini. Sofa yang empuk di setiap tempat duduk dengan interior bernuansa earthtone yang sangat lembut. Kualihkan pandanganku menuju kaca. Gerimis.
Bayangan-banyangan itu pun mulai membayangi pikiran ku kembali. STOP! Bagaimana mungkin aku selalu memikirkannya? Sedang dia telah membuangku jauh dalam hidupnya. Ayo Acha belajarlah melupakan dia, masih banyak hal yang perlu kau pikirkan dan lebih berguna daripada memikirkannya. Pikiran ini benar-benar menggangguku, segera aku raih tas selempang disamping sofaku dan pergi meninggalkan caffe ini.
Aku menengadahkan kepalaku keatas dan mencoba menikmati rintikan air hujan yang mebasahi wajahku. Aku terdiam dan tanpa aku kehendaki air mata ini pun mengalir bersama rintikan-rintikan hujan. Aku pun berlari kecil untuk berteduh, karena rintikan hujan itu bertambah besar. Dingin sekali. Aku pun mencoba memeluk tubuhku sendiri. Ddrrrt! Hp-ku berbunyi. Ku ambil handphone dalam saku celanaku.
From : Adel
Dimana???
Sent : Adel
Depan caffe, kenapa?
From : Adel
Cepet pulang!
Ada apa dengan makhluk yang satu ini, tidak biasanya dia menkhawatirkanku. Aku pun segera mencari taxi dan bergegas pulang.
Sesampainya dirumah, ternyata Adel telah menungguku di depan gerbang dengan wajah yang tak aku suka.
“Lo gapapa kan?” tanyanya khawatir. “Gue baik-baik aja ga usah lebay gitu deh” jawabku acuh dan langsung memasuki rumahku. Adel mengikutiku dari belakang menuju kamarku. Aku hempaskan tubuhku di kasur, betapa lelahnya hari ini.
“Lo ga bisa bohongin perasaan lo sendiri”
“Gue udah biasa di giniin Del”
“Lo ga usah sok tegar di depan gue deh! Gue kenal lo! Ini bukan lo yang biasanya”
“Setiap kejadian pasti ada hikmahnya”
“Cha? Lo berani natep mata gue gak?”
“Hah?” aku tahu Adel dapat membaca mataku dengan mudah, dengan sedikit ragu aku mencoba menatap matanya. “Lo masih sayang sama dia” ucapnya dengan tepat. Apa ku bilang dia dapat dengan mudah melakukannya. “Lo ga bisa bohong,  gue tahu. Lo harus belajar  jujur sama diri lo sendiri”.
“Gue udah bukan siapa-siapa dia lagi”
“Rasa sayang emang hak lo buat milikinnya”
“Salah gue kenapa mesti ngelakuin hal tolol kayak gitu”
“Cinta itu emang datang tanpa kita kehendaki”
Aku mulai merasakan mataku mulai memanas. Sudahlah aku memang lemah, aku tidak pernah bisa kuat bila sudah berurusan dengan……….masa lalu. “Keluarin semuanya aja Cha, mumpung gue masih disini. Gue bakal nemenin lo sampe lo tenang. Sekarang gue ijinin buat nangisin dia, tapi lo juga harus bangun dan belajar buat ngelupain dia”. Aku pun memeluk Adel. Mungkin aku harus segera bangun dari mimpi yang panjang ini. Mungkin.
*****
(Flash Back)
Lima tahun yang lalu…..
Tahun ajaran baru. Kelas baru. Teman baru. Suasanan baru. Senyum yang baru? Mungkin. Semua murid begitu antusias mendapatkan kelas barunya. Namun tidak denganku. Aku benci tahun ajaran baru, tahun dimana aku tidak dapat sekelas kembali dengannya.
Dia. Aku tak pernah membayangkan untuk menyukai bahkan hingga menyayanginya. Tak pernah terfikirkan sedikit pun bayangan aku akan menyayangi orang aneh seperti dia. Pada saat pertama kali bertemu, aku tak pernah menyangka bahwa dia akan menjadi begitu berarti bagiku.
Semua terjadi karena perbuatan tololku. HAHA. A little mistake. Dan aku tidak pernah ingin untuk mengingatnya kembali.
Clak… Kurasakan butiran-butiran air yang mengenai badanku. Aku menenggakkan kepala dan tersenyum. Gerimis. Aku sangat menyukai gerimis. Aku melihat orang-orang berlari mencari tempat untuk berteduh. Namun tidak denganku, aku hanya diam dan tersenyum ketika rintikan air membasahi bajuku.
“Orang sinting, orang lain pada neduh lu malah diem disitu” suara itu membuatku tersadar dari lamunanku. Apakah aku tidak salah dengar? Aku menoleh. Dia yang sedari tadi aku lamunkan. Masa laluku.
“Malah bengong, sini cepeet” Dia pun menghampiriku dan mengenggam tanganku. Menarikku kearah koridor sekolah.
Brrrr. Angin pun berhembus dengan lembutnya. Dingin sekali. Aku pun memeluk tubuhku sendiri. “Ngapain si ujan-ujanan kayak tadi?” tanyanya. “Gue suka gerimis”.
“Kayak di sentron-sinetron aja suka gerimis”
“Bawel” jawabku singkat dan berjalan menjauhi dia. Aku tak kuat bila terus berlama-lama dengannya, aku takut tiba-tiba memeluknya. “Mau kemana? Sini bentar”
“Ada apa lagi sih Vin?”
“Pake jaket gue tuh, ga usah nolak” Dia melemparkan jaket Manchester Unitednya ke arahku. “Gausah, kamu aja yang pake”
“Gue cowok lo cewek, mana keujanan lagi. Udah pake aja bawel”. Keras kepala. Itulah Alvin, dengan terpaksa aku mengenakan jaket Manchester Unitednya. “Temenin aku disini ya sampe ujan reda” ucapnya. Hah? Apa aku tidak salah mendengarnya? “Duduk situ yu Cha”. Aku pun mengekor dibelakang Alvin.
“Kamu dapet kelas apa Cha?”
“12 IPA 4. Kamu?”
“IPA 1. Kelas terakhir kita di smansa”
“Yaa….” Kelas terakhir kita di smansa dan kita tidak dapat melaluinya bersama, sudahlah.
“Kamu mau ngelanjutin kemana Cha?”
“Aku pengennya ke Universitas Indonesia”
“Jurusan?”
“Kedokteran insyaallah. Kamu?”
“Gatau. Kayaknya ga akan di Indonesia”
“Hah? Kenapa?”
“Mama aku nyuruhnya buat ke England. Tapi aku juga ga ngerti”
“Oh…” Kecewa. Hanya itu yang ada dalam otakku. Tak terasa kini sudah tidak ada kata gue-lo lagi diantara aku dan Alvin. Keheningan pun kembali menghinggap. Aku dan Alvin hanya duduk memandang kearah danau di sekolah dan memperhatikan rintikan hujan yang membasahi pelataran sekolah ini.
“Eh ujannya reda, ayo pulang”
Aku dan Alvin pun berjalan menuju gerbang sekolah. Dia berjalan menuju motor satrianya dan aku berjalan menuju jemputanku. Angkot.
“Mau bareng ga? Mumpung lagi baik”
“Hah?”
Tidak biasanya dia seperti ini. Bagaimana aku bisa berhenti menyayanginya jika seperti ini? Aku tidak mengerti dengan Alvin, terkadang kami seperti orang yang tidak kenal satu sama lain, jangankan untuk bertanya padaku, menatap mataku saja dia tidak melakukannya. Tapi terkadang dia memperlakukanku seperti tadi. Ah aku tidak mengerti jalan pikirannya. Tanpa sadar aku telah berada di atas motor satrianya. Dia mengantarkanku pulang. Musim semi telah datang padaku.
Pernah. Entah mengapa aku sangat membenci dengan kata ini. Satu kata yang membuatku gila karnanya. Mengapa kita hanya menjadi suatu kata ‘pernah’ dan tidak menjadi ‘selamanya’, karena aku tak pernah mengerti hingga saat ini hatiku hanya dapat menyebut namamu.
Jika rasa ini memang nyata, maka ajari aku, tetap melaju tapi tak terjebak waktu. Tetap berpusar tanpa harus terlempar. Tetap mengalir tanpa harus berpikir.
*****
Jam menunjukkan pukul 14.35. Saat dimana semua murid menunggu nada yang membuat mereka terlepas dari semua perangkat sekolah. “Teeeeet…. Teeeeet……”. Yes. Satu kata yang tanpa sadar keluar dari mulutku.
“Baiklah anak-anak jangan lupa mempelajari  hukum-hukum redoks lainnya, karena materi ini sudah selesai sehingga minggu depan kita akan melaksanakan ulangan harian. Selamat sore anak-anak….”
Ibu Meli pun keluar dari kelas dengan meninggalkan segudang ke-khawatiran dalam pikiranku. Oh tuhan, aku sama sekali tidak mengerti bab itu.
Dengan malas aku memakai sweater merahku dan menggendong tas hitamku. “Cha….. anterin gue ke gramed yuuu” pinta Adel dengan memelas.
“Mau ngapain?”
“Gue mau beli majalah Greyson. Ayoodooong”
“Iyaa deh”
“YAAAAY” pekik Adel dengan sangat kencang. Dengan kesal aku mengusap-ngusap telingaku yang mengiang sedari tadi.
Kami pun berjalan menuruni tangga. Adel tak henti-hentinya berbicara tentang Greyson yang menurutnya memiliki senyum termanis di dunia. Sayang sekali Adel tidak pernah menyadari bahwa Alvin memiliki senyum paling manis yang pernah ada. Andaikan aku dapat memainkan waktu dengan mudah, aku ingin membingkai senyumnya dan menunjukkannya kepada Adel dan dunia.
“Eh Ray lo tadi dicariin Pak Rio di ruang BK” sela Adel tiba-tiba. Terlihat disana seorang lelaki dengan wajah sengak dan berpostur kurus dan tinggi sedang berdiri di bawah pohon rindang. “Haa? Ngapain? Gue anak baik gini juga” ucap Ray dengan nada selengean. “Lu kan IRnya RayReady SHS Ray, ga aneh lu masuk BK hahaha” ucap Adel yang dibarengi tawa kecilku.
Tawaku pun berhenti ketika seseorang yang memiliki bola mata yang besar menepuk pundak Ray. “Raay lu di cariin Pak Rio nooh” ucapnya. Alvin. “Tuuh kan” ucap Adel dengan puas. “Matilah lu Raay. Gue kesana ya dah” dengan cepat Ray berlari menuju ruang BK yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.
“Lu ga ke gor Vin?” Tanya Adel kepada Alvin. Oh tuhan mengapa Alvin terlihat begitu mempesona dengan jaket hitam yang melekat pada tumbuhnya, dan rambut jambul yang membingkai wajah manisnya. “Ini gue mau kesana, tapi gue pulang dulu”.
“Eh lu kalo ketemu Pak Edwin bilangin ya, suratnya udah gue kirimin semua tinggal tunggu tanggal main”
 “Gampang asal ada ongkos kirimnya haha” Kacaaaang… Kacaaang… Rasanya aku seperti patung Liberty di antara mereka. Sedari tadi aku tidak pernah berani menatap Alvin, aku hanya melihat kea rah bawah dan memainkan batu dengan sepatu converse warna black-purple. Malang. “Mataluuu” ucap Adel garang.”Haha  Gue duluan ya, bye Adel” Alvin pun pergi menjauh dari tempatku berdiri. ‘bye adel’ adel doang? Oh sudahlah, bukankah aku terbiasa di perlakukannya seperti ini.
“Heran gue. Alvin ngomongnya sama gue tapi matanya ngarah ke elu ca”
“Hah? Maksud lo Del?”
“Dari tadi dia ngelirik lu cha, ga ngerasa emang?”
“Nggaaaaaaak. Ayoo jadi ga ke gramed sekarang? Gue mau cepet pulang ni”
“Iyee jadiii”
Benarkah yang di katakana Adel tadi? Rasanya tidak mungkin. Entahlah. Aku tidak mengerti.
*****
Hari demi hari berlalu. Rasanya kini Alvin benar-benar menjauh dariku. Tidak pernah ada komunikasi lagi yang terjalin di antara kita. Dan itu benar-benar membuatku bingung. Bisakah kau bayangkan? Orang yang dulu selalu ada untukmu kini berubah menjadi seperti orang yang tak pernah kenal dengamu? Sedangkan hatimu hanya bisa melihat dia. Dia yang kini bukan dia yang dulu.
Sudah beberapa kali aku mencoba untuk menyapanya, namun selalu gagal. Hingga pada akhirnya apa yang ingin aku lakukan kepada Alvin seringkali aku lampiaskan kepada orang lain. Dan dalam pikiranku, aku membayangkan dia adalah Alvin. Jahat memang namun hanya itu cara untuk dapat menggantikan rinduku yang amat besar pada Alvin.
Dan hari ini aku memberanikan diri memberi sebotol minuman kepada Alvin di Gor. Dengan pakaian seragam lengkap, sepatu converse warna black-purple dan rambut yang aku ikat dengan pita berwarna ungu, dan sejuta rindu yang ku bawa.Dengan memegang satu botol Pocari Sweat aku berjalan menghampiri Alvin yang sedang beristirahat di bangku panjang.
Jantungku mulai terasa berdegup kencang ketika aku semakin dekat dengan Alvin. Selangkah lagi menuju Alvin dan….”Eh Cha minuman buat gue ya?” ucap lelaki yang baru saja keluar dari lapang badminton, Ray. “Haah? Eeeng… nggaa…yaa buat eloo” pasrah.
“Makasiiih Acha Similikiti” ucap Ray sambil mengacak-ngacak poniku. “Heem sama-sama” . Oh tuhan mungkin ini belum waktunya untuk bersama Alvin.  Aku pun duduk di kursi panjang itu, dan bersebalahan dengan Alvin. Maksudku dengan Ray sebagai tiang penghalang.
“Lu nggak maen cha?” Tanya Ray.
“Mau maen gue cuma gabawa baju olahraga”
“Gapapa kali Cha, pake itu aja. Ayo gue temenin lo maen” Ray pun menarik lenganku menuju lapangan dan memberikan satu raket miliknya. Rasanya lelah. Tujuanku datang ketempat ini untuk bersama Alvin bukan Ray, ya.. seperti biasa aku membayangkan Ray yang sedang bermain badminton bersamaku adalah Alvin. Aku tertawa seperti bahagia saat bermain bersama Ray, dia mengajarkan bagaimana ‘SMASH’ da membenarkan gaya pegang raketku yang benar-benar salah. Namun sejauh itu aku hanya memperhatikan Alvin, nama dia yang sedari tadi menggebu-gebu dalam otakku.
Sudahlah mungkin kita memang tidak di takdirkan untuk bersama. Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, merekam setiap gerak-geriknya dalam memori. Rasanya masa lalu saat aku bersamanya hanyalah mimpi indah dalam hidupku, dan seperti tidak pernah benar-benar terjadi.
Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Ujian Nasional sudah semakin mendekat. Kini aku mencoba untuk tidak peduli terhadap Alvin. Dan mulai menyibukkan diriku dengan belajar, dan seperti mimpiku yang ingin menjadi salah satu mahasiswi di Universitas Indonesia. Ya aku tahu, masuk UI itu memang tidak mudah, aku harus mengalahkan beribu-ribu orang untuk mendapatkan satu kursi di universitas tersebut. Meski bayangan Alvin belum benar-benar hilang, aku harus bisa menggantikannya dengan bayangan sebuah almamater UI nanti.
Hari itu pun datang. Aku telah berusaha semampuku, dan bagaimana pun hasilnya mungki itu adalah yang terbaik untukku. 4 hari kami semua bertempur untuk mendapatkan sebuah kata ‘LULUS’. Ada yang belajar dengan mati-matian, ada pula yang sibuk mencari kunci jawaban kesana kemari, dan ada pula yang hanya diam dan pasrah dengan segala yang terjadi.
Rasanya berat sekali untuk menempuh 4hari itu, namun kini aku telah melewatinya. Aku telah melewati jurang dalam kehidupan. Kemana tujuanku nanti?  Entahlah.
Beberapa hari kemudian setelah dilaksanakannya UN, aku di panggil oleh PA ku. Aku bingung karena aku merasa tidak melakukan apapun. Namun ternyata guru PA ku meberitaku bahwa aku lulus seleksi PMDK di Universitas Indonesia. Seperti sebuah tangan malaikat yang membawaku terbang ke langit. Aku tidak dapat mempercayainya. Mimpi yang selama ini hanya dapat aku dambakan akhirnya dapat terwujud. Aku memberitahu orangtuaku, dan tentunya Adel. Mereka senang mendengarnya.
Kini aku hanya tinggal menunggu hasil kelulusan, dengan tenang. Namun tidak dengan hatiku. Meninggalkan SMA sama saja dengan meninggalkan Alvin. Aku ingin sekali menarik tangannya dan membiarkan kami berbicara hanya berdua saja. Tidak. Aku tidak mungkin melakukan itu.
*****
“Ka bangun ka, itu ada yang nyariin orang diluar” ucap mamaku lembut.
“Tengah malem gini? Masa aja maa, ngelindur kali mama”
“Beneraan ayoo cepet kasian orang diluarnya nunggu lama kak” seru mama sambil membangunkan tubuhku dengan paksa. Dengan malas aku berjalan menuju pintu depan rumahku. Siapa orang yang tengah malam begini bertamu? Apakah dia tidak mempunyai jam?
Saat aku membukakan pintu rumahku………………..
“SURPRISEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!!! HAPPY BIRTHDAY ACHAAAA… HAPPPY BIRTHDAY ACHAAAA…” seru semua orang yang berada di depan rumah. Mulutku menganga tak percaya. Oh tuhan aku sampai lupa dengan hari ulang tahunku sendiri.  Mereka teman-temanku di sepuluh tiga dahulu sudah berada di depan rumahku dengan membawa kue ulang tahun dan sebuah kado besar. Dan ada Alvin disana. Dengan senyum lembutnya. Oh tidak wajahku benar-benar kusut dan aku hanya mengenakan piyama berwarna pink soft ini.
Aku meniup lilin dan semua bertepuk tangan. Mereka adalah teman-teman terbaikku. “Yaampuun kalian makasih banyak banyak bangeeeeeeeeeet” ucapku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sama-sama Cha. Niih bocah ini nih yang punya ide bikin surprise buat kamu” ucap Ray sambil menunjuk-nunjuk Adel.
Anak itu. Rasanya aku adalah orang yang paling beruntung memiliki sahabat seperti Adel yang selalu ada untukku. Aku pun berlari untuk memeluknya.
“Eh gue mau juga dong di peluk” ucap Ray dengan jahilnya. “Apasih lo hahaha” ucap Adel yang di barengi tawa kami.
“Buka dong kadonya cha!” seru Sila. Aku pun membuka kado yang di berikan sepuluh tiga untukku. Sebuah boneka Elmo dengan ukuran yang sangat besar berada dalam bungkus kado tersebut. AAAAA! Aku pumemeluk teman-temanku. “Makasih yaa..”. Tidak dapat aku gambarkan kebahagiaanku sekarang.
“Kalian abis ini mau kemana?  Udah malem nginep di rumah tante aja” Tanya mamaku tiba-tiba. “Ah gapapa tan, takut ngerepotin hehe”  ujar Ray. “Yaudah lu aja yang ga nginep Ray, kita si pada mau wkwkwk” ucap Adel di barengi tawa anak-anak.
Akhirnya mereka pun menginap dirumahku. Perempuan tidur di kamarku yang berada di lantai 2 sedangkan laki-laki tidur di kamar tamu di dekat kamarku. Aku melirik kearah sekitarku. Teman-temanku sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Melihat wajah mereka yang lugu ketika sedang tidur membuatku tertawa kecil. Tak kan pernah aku lupakan malam ini. Bersama kalian. Sepuluh tiga. Dan Alvin. Terimakasih ya Allah.
Jam 05.30 pagi. Setelah kami melaksanakan shalat shubuh, teman-temanku langsung tertidur kembali karena lelah. Tidak denganku. Rasanya suasana di pagi ini terlalu indah untuk aku tinggalkan. Setelah merapihkan rambut, aku pun berjalan pelan keluar kamar menuju balkon rumahku.
Di dalam rumahku, tempat ini merupakan salah satu tempat favoritku. Pagar untuk menghalangi teras ini ditutupi dengan berbagai macam tumbuhan yang merambat. Banyak sekali tanaman yang menghiasi tempat ini juga satu buah sofa berwarna hitam yang bertengger di tempat ini.
Aku menghirupkan nafas. Heeeeem. Segar sekali udara pagi ini. Ku arahkan pandanganku menuju ke bawah, melihat pemandangan yang ada di dalamnya. Tiba-tiba aku mendengar derap langkah yang menuju tempat ini. Aku membalikkan tubuhku untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin?” tanyaku dengan nada tak percaya.
“Kenapa ga tidur lagi cha?”
“Suasana pagi ini terlalu indah buat aku tinggalin, kamu sendiri kenapa ga tidur?”
“Males tidur lagi”
“Oh..”
Dan itu merupakan percakapan pertama kami setelah sekian bulan kami tidak berbicara sama sekali. Dan sekarang aku dan Alvin berdiri bersebelahan di tempat ini. Hanya satu meter jarak antara kami. Keheningan pun kembali menghinggap. Aku dan Alvin sama-sama diam. Hanya suara burung yang bercuit-cuit ria yang terdengar. Aku tersenyum. Hanya berdiri di sampingnya, sudah cukup bagiku.
“Aku kedalem cha” ujar Alvin. “Heem yaa…” ucapku dengan nada kecewa. Rasanya sejak tadi aku ingin segera menghentikan waktu, membiarkan aku terus bersama Alvin. Alvin pun berjalan menjauh dari tempat ini.
 Setidaknya tadi kami berbicara. Aku pun tersenyum kecut. Namun rasanya ada yang aneh. Aku tak mendengar suara derap langkah Alvin lagi. Mungkinkah dia sudah benar-benar pergi dari tempat ini? Ketika aku berniat untuk memalingkan wajahku kebelakang, kudengar suara lari kecil yang menghampiriku dan sepasang lengan yang tiba-tiba melingkar di tubuhku.
Siapa yang memelukku? Aku menoleh kebelakang. Apa aku tidak salah lihat? Alvin?
“Alvin? Apa-apaan sih?” ucapku risih. Apa yang dia inginkan? Tiba-tiba memelukku dari belakang begitu saja.
“Bentar aja cha… biarin aku buat meluk kamu….” Ucapnya sambil memelukku dengan erat. Ada apa dengan dia? Aku pun pasrah dan membiarkan Alvin memeluk tubuhku. Apakah dia dapat mendengar? Jantungku yang berdebar seperti sebuah drum yang sedang memainkan music hardcord?
“Udah lama aku mau meluk kamu kayak gini, tapi aku selalu tahan….”
“Kamu kenapa sih Vin?” aku benar-benar tidak mengerti dengan anak ini. Alvin pun melonggarkan pelukannya dan membalikkan tubuhku sehingga berhadapan dengannya. Oh tuhan jarakku dengannya hanya sekitar satu jengkal.
“Cha….. besok aku jadi pergi England”
“Kamu gak bercanda kan?”
“Yaa…. Aku ngambil jurusan arsitek disana…. Dan kayaknya aku ga bakalan pulang ke Indonesia selama 4 tahun. Aku harus fokus sama apa yang udah mama aku pilihin buat aku”
“Aku ga ngerti sama kamu Vin, jadi maksud kamu tadi meluk aku itu apa?”
“Cha… kamu mau ga nunggu aku? Jaga hati Acha cuma buat Alvin?”
“Haah?” ini semua rasanya hanya mimpi semata. Aku berusaha untuk memejamkan mataku dan terbangun dari mimpi ini. Tidak. Ini nyata Acha. Alvin pun memberikan jari kelingkingnya ke arahku. “Janji..” ucapku dengan pelan. Alvin membalasnya dengan senyum. Senyum yang sejak dulu hanya bisa aku lihat dari kejauhan, tapi kini aku melihatnya di depan mataku dan dia meberikan senyum itu untukku. Alvin menarikku ke dalam dekapannya dan memelukku kembali. “Aku sayang kamu” bisiknya.
Dan kalimat tadi bagai tangan malaikat yang mengangkatku terbang dari bumi untuk dibawa ke surga. Sebuah kalimat yang terucap kembali di bibirnya setelah 2 tahun yang lalu. Aku pun tersenyum di dalam pelukkan Alvin. Dia yang selama ini hanya dapat aku lihat dari kejauhan. Dia yang selama ini ada dalam setiap lamunanku. Aku menyayangimu juga.
Alvin pun melepas pelukkannya dan mengecup dahiku dengan lembut. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Alvin. Cinta pertamaku. Orang yang pertama mengenalkanku akan cinta. Orang yang kusebut memiliki senyum termanis di dunia ini. Dan kini aku menggenggam tangannya. Bersamanya.
Keesokkan harinya Alvin benar-benar berangkat menuju England. Teman-temanku pun terkejut ketika mendengarnya. Alvin tidak pernah membicarakan ini kepada mereka, termasuk sahabat dekatnya Ray. Sungguh aku tak dapat menggambarkan perasaanku saat itu. Baru saja aku bersamanya, kini ia telah pergi meninggalkanku. Aku akan menunggumu. Entah kapan aku dapat terbangun dari mimpiku. Entah.
(FLASHBACK END)
*****
Seberkas sinar matahari membuatku terbangun dari tidur panjangku. Rasanya berat sekali kepalaku ini. Aku pun berjalan menuju kamar mandi dan mencuci mukaku. Ketika aku melihat bayanganku di dalam kaca, betapa kagetnya aku melihat bayanganku sendiri. Mataku benar-benar bengkak. Bentuknya hampir menyerupai bola tenis. Entah berapa lama aku menangis hingga menjadi seperti ini.
Mungkin aku adalah wanita yang paling bodoh di dunia ini. Menjaga hatiku hanya untuk cinta pertamaku. Menolak setiap cinta yang datang padaku, demi janji kelingking yang terjadi 4 tahun yang lalu. Dengan sabar aku menunggunya. Menahan diriku untuk mengkhianati janji kelingking. Menfokuskan segala pikiranku pada impianku untuk menjadi seorang dokter. Kini memang aku telah lulus dari Universitas Indonesia dan menjadi seorang dokter di sebuah Rumah Sakit ternama.
Namun…. Ternyata kesuksesan dalam karirku tidak sebanding dengan kehidupan cintaku. Alvin. Orang yang selalu ada dalam hatiku. Orang yang aku tunggu selama 4 tahun kebelakang ini. Ternyata dia telah membuangku jauh dalam hidupnya.
Aku mendapatkan kabar bahwa dia telah bertunangan dengan seorang gadis pilihan ibunya. Clarissa Pearce. Seorang gadis yang kini telah menjadi calon istri Alvin Jonathan. Lalu? Apa yang kulakukan selama ini? Menunggu lelaki yang telah bertunangan. Jahat. Alvin benar-benar jahat. Rasanya aku ingin menendangnya dari dunia ini. Aku memang bodoh. Mempecayai perkataan Alvin begitu saja.
Bayangkan saja oleh kalian? 4 tahun aku menunggunya dengan sabar. Dan kabar pertama yang aku dapatkan adalah tentang pertunangannya dengan Clarissa. Kau tahu rasanya? Sakit. Disetiap hari aku mencoba menepis rasa sepiku dengan mengingat janji kelingking itu. Dan apa yang aku dapatkan setelah menunggunya selama 4 tahun? Sudahlah. Nasi telah menjadi bubur. Dunia tidak berhenti sampai disitu saja.
Aku pun menutup kupingku dari segala hal yang berhubungan dengan Alvin. Adel pun tidak pernah berani menyebut nama itu kembali. Aku mencoba mematikan segala hal tentangnya. Namun tidak dengan persaanku, bodohnya aku masih saja menyimpan namanya di dalam hatiku.
Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Entah sudah berapa lama aku tidak pernah untuk tersenyum kembali. Sekalipun aku tersenyum, itu adalah senyuman palsu dan tidak tulus dari hatiku. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan bekerja lembur di Rumah Sakit tempat aku bekerja. Adel selalu datang untuk menjemputku, mengajakku untuk pergi makan, dan menghiburku. Karena Adel tahu ketika aku bekerja tidak ada satu suap makanan pun yang masuk ke dalam muluttku. Setidaknya aku masih memiliki Adel. Sahabat yang tidak pernah lelah untuk menemaniku. Entah sampai kapan aku terus terbelenggu dengan masa lalu.  Aku harus tersadar karena kini semua yang aku genggam hanyalah satu kata: pernah.
*****
“Chaa…. Ke caffe Achapuchino yuuu” seru Adel di tengah siang bolong. “Ngapain?” ucapku masih sibuk dengan berkas-berkas di atas meja belajarku. “Gue pengen makan ice cream, yah? Temenin yah?” bujuknya dengan senyum seperti anak kecil. “Iyaa gue ganti baju dulu ya…” ucapku pasrah. “YAAAAAY!” jeritnya. Adel. Tidak pernah berubah sejak SMA, walaupun kini dia telah menjadi seorang designer ternama namun tetap kelakuan anak kecilnya masih saja ada.
Aku pun segera mengganti bajuku dengan dress bermotif floral berwarna merah dan wedges dengan warna senada juga rambut panjangku yang aku gerai. Aku sudah siap untuk berangkat. Aku dan Adel pergi menuju caffe Achapuchino dengan mobil audy R8 milik Adel.
Sesampainya di caffe Achapuchino betapa terkejutnya aku karena di dalam caffe semua teman-teman SMA ku berada disana termasuk sepuluh tiga. Mereka seperti hendak ‘nonton bareng’.”Eh Acha udah lama kita ga ketemu” ucap Sila yang sedang duduk dengan teman-teman sepuluh tiga yang lain. Aku membalasnya dengan senyum.  “Del… ada apa ini?” Tanyaku dengan curiga. “Heem.. ayo duduk dulu sini cha, lo mau pesen apa? Ohya mochachino sama ice cream oreo vanilla kan?” jawab Adel tak menghiraukan pertanyaanku.
Bola mataku berputar mengelilingi seluruh ruangan di caffe ini. Tidak kutemukan sosok lelaki berpostur tinggi dengan bola mata yang besar itu, syukurlah. Aku pun berbincang-bincang dengan teman SMAku, sampai akhirnya layar berukuran 50inc yang biasa di gunakan untuk ‘nonton bareng’ itu pun menyala. Semuanya terdiam dan fokus pada layar tersebut.
Aku kira mereka hendak menonton acara bola bersama. Ternyata bukan. Sebuah acara Talk Show dengan pembawa acara Eza Gionino yang sedang mereka lihat. “Selamat siang Indonesia…. Berjumpa kembali dengan saya Eza Gionino dalam acara Putih Abu-abu…. Siang ini saya memiliki bintang tamu yang sangat special. Seorang arsitek ternama dari Negara ratu Elisabet akan berbincang-bincang bersama kami selama 30menit kedepan. Mari kita panggilkan Alvin Jonathan…”. Deg. Pantas saja mereka semua berada disini ternyata mereka hendak melihat Alvin. Aku melirik Adel dengan tatapan tajam, namun dia hanya tersenyum kecut. Rasanya aku ingin pergi saja dari tempat ini.
“Alviiin…. Ya…  Dengar-dengar Pangeran William dan Kate Midleton yang baru saja menikah meminta anda sebagai arsitek untuk membangun rumah mereka?”
“Ya betul.. “
“Wah hebat sekali…. Sampai pangeran dari Inggris pun mempercayai anda sebagai arsitek untuk rumah mereka…. Bagaimana perasaan anda saat mengetahuinya?”
“Senang sekaligus bangga.. tidak pernah menyangka karya saya akan di hargai sampai seperti ini”
“Apakah inspirasi anda saat sedang membuat design rumah?”
“Inspirasi saya ketika sedang mendesign rumah adalah seseorang yang menempati hati saya”
“Wah.. benarkah itu?”
“Yaa..”
“Menyangkut masalah pribadi, dengar-dengar anda membatalkan pertunangan anda dengan Clarissa Pearce?”
Hah? Apa yang dia bilang? Mebatalkan pertunangan? Apakah aku tidak salah mendengar? Mengapa tidak ada yang meberitahuku? Aku baru ingat. Tidak satupun orang yang kuijinkan untuk berbicara tentang Alvin.
“Heem ya benar”
“Mengapa anda membatalkan pertunangan kalian?”
“Heeem sejujurnya pertunangan itu bukanlah keinginan saya, melainkan orangtua saya. Sedangkan mereka tidak tahu bahwa saya telah terlanjur jatuh cinta dengan wanita yang menempati hati saya”
“Apakah dia adalah orang yang menginspirasi anda saat mendesign rumah?”
“Yaa…”
“Wah beruntung sekali wanita itu…. Bolehkah kami tahu siapa wanita itu?”
Alvin pun tertawa kecil. “Dia adalah gadis yang sangat manis. Saya telah menyukainya saat saya pertama kali masuk SMA”
“Ternyata dia adalah cinta putih abu-abumu?”
“Ya betul”
“Bolehkah kami tahu namanya?”
“Nama gadis itu…..Larissa Safanah Arif”
Deg. Seperti petir yang menyambarku di siang bolong. Semua orang di dalam caffe ini beralih memandangku lalu mereka bertepuk tangan dan bersorak. Aku menutup mulutku, tak percaya dengan semua ini. Hingga air mata itu pun jatuh dengan manisnya di pipiku. Kau menepati janji kelingking itu.
*****
Jam 09.00 pagi Alvin datang ke rumahku. Akhirnya kami pun berbicara kembali setelah 4 tahun perpisahan kami. Aku dan Alvin berada disini, di tempat dimana janji kelingking itu terjadi.
“Chaa… kamu udah denger di acara talkshow kemarin kan?” ucap Alvin dengan suara manjanya.
“Heeem”
“Chaa.. jangan marah dong…. Maaf soal kejadian waktu itu”. Aku masih terdiam, lucu juga melihatnya memelas seperti hihi. “Acha… maafin Alvin yah?” ucap Alvin sambil mengarahkan wajahku agar menghadap kepadanya. “Apaan si ah..” ucapku dengan tertawa kecil.
“Iiiih Acha lucu kalo lagi ngambek” ujarnya sambil mencubit kedua pipiku.
“Alviiiiiin sakiiiiiit” ucapku sambil berusaha melepaskan cubitan Alvin. Alvin pun berbalik mengelitikku. Tawapun memecah kesunyian yang sempat terjadi.
“Ibu dokter ga pernah punya pacar kan selama aku di England?”
“Nggaak…..aku kering tau nungguin kamu 4 tahun”
“Haha segitu pengennya ya kamu jadi pacar aku?”
“Apasih kamuu….” Ucapku sambil mencubit badan Alvin gemas.
“Jangan marah Acha cantik”
“Tau ah” ucapku sambil membalikkan badan.
“Jangan marah dong…. Liat ke bawah deh cha”
“Apaan sih…”
“Ayo liat kebawah…”
Alvin pun menarik tubuhku agar aku menghadap ke arah pagar pembatas di balkon ini. Oh tuhan, mengapa aku tidak sadar? Sudah banyak orang di bawah sana dengan membawa bunga mawar dan balon merah yang di bentuk menjadi huruf I LOVE YOU. Aku menutup mulutku tak percaya.
“Acha… mau ga jadi orang yang selalu ada pas Alvin buka mata di pagi hari?”
Aku menatap Alvin yang sedang tersenyum ke arahku. “Acha mau” ucapku sambil memeluk Alvin. Aku pun melepaskan pelukkanku. Alvin tersenyum kemudian dia menarik tanganku ke bawah dan menemui orang-orang yang sedari tadi menunggu kami.
Alvin dialah belahan jiwaku. Seseorang yang ditakdirkan untuk bersamaku. Walaupun kisah cinta kami tak semanis seperti kisah lainnya, namun apa ku bilang ‘Sesuatu yang jika memang milik kita akan kembali kepada kita’. Ternyata Alvin tidak pernah melupakan janji kelingking kita. Janji kelingking yang terjadi 4 tahun lalu, dan kini berakhir dengan bahagia. Terimakasih tuhan telah melahirkan Alvin kedunia ini. Anugerah terindah yang pernah kumiliki.
THE END
Copyright 2009 A Little Note☮. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates